Post Page Advertisement [Top]


 

Ngobrol Santai Bersama Pak H. Atto S

Sebuah Renungan tentang Pembangunan yang Berkelanjutan

 Oleh: Ihwan Kadir, pendiri Poros Musyawarah Masyarakat Blok Lapao-pao ( PORMMAL)

Sabtu malam, 26 April 2025, sesaat setelah kunjungan Gubernur Sulawesi Tenggara, Bapak Mayjen (purn) TNI Andi Sumange Rukka, ke Lokasi smelter RKEF Merah putih Ceria Group yang tak lama lagi beroperasi, saya bersama dua rekan, H. Syahrul Beddu, Ketua Perencana Program CSR/PPM Provinsi Sulawesi Tenggara dan Taslim Muthalib, Sekretaris Camat Wolo, duduk bersama inisiator proyek Smelter Merah Putih Ceria Group, Bapak H. Atto Sakmiwata Sampetoding. Kami bertiga menjadi pendengar dalam percakapan itu, hanya sesekali menimpali, namun meskipun dalam posisi tersebut, obrolan kami membawa wawasan yang jauh melampaui diskusi teknis dan anggaran proyek.

Percakapan kami dimulai dengan kekaguman Pak H. Atto terhadap beberapa dai kondang Bugis Makassar, seperti Ustadz Dasar Latif dan Ustadz Maulana. Pak H. Atto dengan penuh semangat menceritakan bagaimana teknik komunikasi mereka yang khas, mampu mempengaruhi banyak orang di Indonesia, dengan cara yang penuh hikmah dan kebijaksanaan. Ia mengagumi bagaimana mereka tidak hanya menyampaikan pesan agama dengan jelas, tetapi juga dengan cara yang sangat mendalam, menjangkau hati banyak orang. Hal ini menurutnya relevan dengan cara bagaimana kita membangun, baik dalam konteks pribadi maupun dalam skala proyek besar seperti smelter ini.

Dari sana, obrolan kami berlanjut ke topik pembangunan Smelter Merah Putih. Pak H. Atto berbicara tentang bagaimana pentingnya untuk tidak hanya melihat angka-angka atau target proyek, tetapi juga bagaimana membangun dengan penuh kesadaran dan keseimbangan. Ia membayangkan desa-desa sekitar tambang yang tidak menjadi korban industri, tetapi justru berkembang berdampingan dengan kemajuan itu sendiri.

Ia membayangkan desa hijau, yang tidak hanya subur dalam arti fisik, tetapi juga dalam arti kehidupan yang penuh dengan harapan dan keseimbangan. Desa dengan pagar-pagar alami dari tanaman merambat yang menyelimuti jalan-jalan, bunga-bunga yang mekar bergantian mengikuti musim, dan lampu-lampu tenaga surya yang menerangi malam dengan cahaya lembut yang menenangkan. Di desa yang ia impikan, setiap rumah dan setiap jalan akan menjadi bagian dari sebuah ekosistem yang hidup dan berkelanjutan, yang menyatukan alam dan manusia dalam harmoni.

Di tengah percakapan itu, Pak H. Atto melontarkan sebuah kalimat yang menyentuh:

"Membangun smelter itu seperti tarikan keluar masuknya nafas pada manusia. Pelan-pelan saja."

Kalimat itu seakan membuka mata kami tentang arti pembangunan yang sejati. 

Nafas, dalam pemahaman Pak H.Atto, bukan hanya tentang bertahan hidup, tetapi tentang bagaimana kita menjalani hidup dengan penuh kesadaran. Seperti nafas yang harus diatur dengan ritme yang benar, pembangunan pun harus dilakukan dengan cara yang terukur, penuh perhitungan, dan tidak terburu-buru. Ini bukan tentang mengejar ambisi atau angka, tetapi tentang membangun dengan penuh kasih dan kesadaran.

Pak H. Atto mengajarkan kami bahwa dalam membangun, kita harus menarik nafas dengan penuh niat baik dan tujuan yang jelas, menahan sejenak untuk merenung tentang dampak yang ditimbulkan, dan menghembuskan perlahan dengan tindakan yang bijaksana. 

Setiap langkah harus diperhitungkan, setiap keputusan harus dipertimbangkan dengan hati-hati. Ini bukan hanya soal membangun smelter atau infrastruktur, tetapi tentang membangun kehidupan yang berkelanjutan, di mana kemajuan dan alam dapat berjalan berdampingan. Pembangunan bukan hanya tentang memajukan sektor industri, tetapi juga tentang menjaga keseimbangan alam dan memastikan bahwa generasi berikutnya dapat menikmati bumi yang sama suburnya, udara yang sama bersihnya, dan tanah yang sama kaya akan kehidupan.

Bagi Pak H. Atto, dunia yang ia impikan bukanlah dunia yang terbagi antara kemajuan dan alam, melainkan dunia di mana keduanya saling menguatkan. Di desa yang ia bayangkan, industri dan alam tidak saling bertentangan, tetapi bekerja bersama untuk menciptakan keberlanjutan. Di sana, pembangunan tidak hanya dilihat sebagai target ekonomi, tetapi sebagai bagian dari upaya menghargai dan melestarikan bumi.

Meskipun obrolan kami terasa sangat singkat malam itu, kalimat-kalimat beliau membuka kesadaran kami bahwa membangun bukan hanya soal fisik atau angka, tetapi juga tentang kesadaran penuh terhadap dampak yang ditimbulkan oleh setiap langkah yang kita ambil.

Kini, kami bertiga, juga tentu bagi seluruh Insan Ceria, khususnya karyawan dan direksi, mereka semua seolah diajak untuk merenung:

Apakah kita sudah membangun nafas yang benar?

Apakah kita sudah memperhitungkan keseimbangan antara kemajuan dan alam?

Ataukah kita tidak boleh terburu-buru, agar dapat menyadari apa dampak buruk yang kita buat dalam proses pembangunan bila tidak terencana dengan baik?

Begitulah, Pak H. Atto mengingatkan kita dengan bijaksana:

"Pelan-pelan saja. Dengan nafas. Dengan kesadaran."

Karena dari sana, kehidupan sejati bermula.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bottom Ad [Post Page]

| Designed by Colorlib