Suara Kolaka - Salah satu pilar penunjang program hilirisasi sumber daya alam Indonesia adalah penanaman modal asing di berbagai sektor pertambangan tanah air. Namun, investasi ini harus disertai dengan nilai tambah yang memiliki manfaat jangka panjang untuk Indonesia.
Praktisi Pasar Modal dan Co-founder PasaRDana, Hans Kwee, mengatakan program hilirisasi pertambangan yang sedang dijalankan Pemerintah membutuhkan dukungan dari perusahaan yang kuat dan sehat. Aspek kuat tersebut dapat ditinjau dari sisi modal dan teknologi, serta penerapan Environment, Social, and Governance (ESG).
Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia telah menyaksikan lonjakan investasi pertambangan nikel yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan nikel dunia sebagai salah satu bahan baku utama pendukung ekosistem kendaraan listrik.
Beberapa perusahaan ternama seperti Tesla, Ford, dan Volkswagen, menunjukkan minat mereka untuk berinvestasi pada sektor pertambangan nikel dan menjadikan nikel Indonesia sebagai sumber daya utama kendaraan mereka.
“Penanaman modal asing dari perusahaan-perusahaan dunia yang membutuhkan nikel Indonesia memang menjadi bagian penting dari strategi hilirisasi sumber daya alam Pemerintah. Namun, harus dipastikan juga bahwa investasi ini jangan hanya bersifat ekstraktif. Harus ada nilai tambah untuk masyarakat sekitar dan masyarakat Indonesia secara umum, seperti praktik atau standar pertambangan berkelanjutan, kontribusi sosial dan ekonomi, dan pemberdayaan masyarakat lokal,” jelas Hans Kwee, yang juga menjadi dosen di Universitas Trisakti dan Universitas Atmajaya Jakarta.
Bila dipilih dengan benar, perusahaan penanaman modal asing di Indonesia bisa membantu meningkatkan standar keberlanjutan dan teknologi industri pertambangan tanah air.
Di Indonesia, yang bisa dijadikan contoh adalah Vale di Sulawesi Selatan. Vale bahkan sempat disebut oleh Presiden Joko Widodo bahwa Vale harus menjadi contoh semua perusahaan tambang di Indonesia karena investasi seperti inilah yang Indonesia butuhkan.
“Vale itu setahu saya memang bagus, mereka memiliki pembangkit listrik sendiri dan punya smelter sendiri. SOP di sana bagus sekali. Saya pernah mendengar keluhan pengusaha bahwa bikin smelter itu di daerah kan listriknya tidak ada. Nyatanya, Vale ini sudah bisa membuat pembangkit listrik sendiri. Vale bisa bikin smelter yang punya nilai tambah. Itulah mengapa Vale memang bagus,” tambah Doktor Ilmu Ekonomi Keuangan lulusan Universitas Trisakti ini.
Pemerintah seharusnya mendukung perusahaan-perusahaan penanaman modal asing yang telah terbukti sukses mengintegrasikan manajemen, lingkungan dan masyarakat (ESG), dalam operasi mereka dengan memberi kepastian investasi yang lebih baik lagi. Hal ini dapat menarik perusahaan-perusahaan internasional untuk berinvestasi di Indonesia.
“ESG ini sangat penting. Kalau kita lihat di Eropa belum lama ini, barang-barang Indonesia sering kali ditolak, terutama CPO, karena mereka menganggap perusahaan Indonesia punya efek karbon. Jadi, kemampuan perusahaan untuk menerapkan ESG harus menjadi pertimbangan Pemerintah untuk sektor pertambangan,” ujar Hans Kwee.
Dengan demikian, dia mengatakan bahwa jangan sampai nasionalisme semu dan tekanan politik pihak-pihak tertentu kemudian membuat pemerintah malah menyusahkan para perusahaan ini. Harus diingat bahwa sebagian besar pekerja di perusahaan-perusahaan ini orang Indonesia juga.
“Selain itu, mereka membantu melestarikan alam dan memastikan bahwa sumber daya alam yang mereka kelola bisa dinikmati oleh generasi penerus. Bahkan, kalau kita perhatikan, perusahaan-perusahaan pertambangan lokal lah selama ini yang selalu banyak menimbulkan kerusakan,” tambah Hans Kwee.
Dampak positif dari investasi pertambangan hijau di Indonesia melampaui pelestarian lingkungan. Hal ini juga mengarah pada peningkatan kesejahteraan sosial dan pembangunan ekonomi. Dengan menciptakan lapangan kerja, meningkatkan infrastruktur, dan mempromosikan praktik pertambangan yang bertanggung jawab, investasi pertambangan hijau berkontribusi pada kesejahteraan masyarakat lokal, mengurangi kemiskinan, dan mendorong pertumbuhan yang inklusif.
“Jadi, kita harus dukung program hilirisasi Pemerintah. Namun, harus diikuti kemampuan perusahaan. Semua negara di dunia mencari investor dari luar negeri untuk memaksimalkan pengelolaan sumber daya alam di negara masing-masing. Jika semua mau dikelola sendiri, Indonesia bisa repot,” ujarnya.
Untuk menjaga kepercayaan investor global serta produsen mobil listrik terkemuka di dunia, Pemerintah Indonesia perlu menjaga kesehatan iklim investasi dan memastikan bahwa Indonesia, sebagai pemain utama produsen nikel, taat pada aturan keberlanjutan internasional.
Di sisi lain, dia mengatakan bahwa divestasi memang perlu dilakukan untuk mempermudah pengawasan perusahaan oleh Pemerintah, serta meningkatkan pendapatan negara dari perusahaan. Namun, porsinya tetap harus disesuaikan dengan perhitungan bisnis, sehingga tidak mengganggu kinerja perusahaan.